Rabu, 17 April 2013

makalah waris smester 4

Diposting oleh Randaagustina di 02.29


TUGAS KELOMPOK
DOSEN PENGASUH
Hukum Kewarisan Di Indonesia
Dra. Hj. Wahidah, M.HI


                                                                                                                           
SYARAT TERJADINYA PEWARISAN, DASAR HUKUM DAN UNSUR-UNSUR KEWARISAN DALAM BW
lambang.png



                       
Di susun oleh
Firhan Iqbal                   :         1101110032
Muhammad                   :         1101110042
Randa Agustina   :         1101110015

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS SYA’RIAH
JURUSAN AKHWAL AL-SYAKHSHIYAH
                           BANJARMASIN 
                                     2013


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat, taufik, hidayah dan bimbingan-Nya semata sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini.
            Shlawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, yang telah menunjukkan jalan kepada kita jalan keselamatan di dunia dan akhirat.
            Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing dan pihak perpustakaan yang telah membantu kami dan memberikan kami kesempatan dan kemudahan untuk menyelesaikan makalah ini, yang berjudul “Syarat Terjadinya Pewarisan, Dasar Hukum Dan Unsur-Unsur Kewarisan Dalam BW
            Sehubungan dengan pembuatan makalah ini kami tak luput dari berbagai kesalahan ataupun kehilafan baik dari segi penulisan, pembahasan ataupun penyusunan kalimat yang pastinya tidak sempurna, oleh karena itu kami meminta baik saran ataupun keritik dari pembaca makalah ini yang tentunya bersifat membangun agar supaya kami menjadi lebih baik lagi untuk ke depannya .
            Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karunianya kepada semuanya yang telah ikut berasumsi dengan makalah ini semoga makalah ini bermanfaat bagi semuanya yang tentunya hanyalah mengharapkan rhido dari Allah semata, dan semoga menjadi amal ibadah kita semua. Amin.








DAPTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………
I.                   PENDAHULUAN……………………………………………………………1
II.                PEMBAHASAN……………………………………………………………...3
1.      Pengertian Hukum Waris..........................................................................3
2.      Syarat terjadinya pewarisan......................................................................3
3.      Dasar hukum kewarisan dalam BW.........................................................4
4.      Unsur-unsur kewarisan dalam BW...........................................................6
III.             PENUTUP…………………………………………………………………….8
KESIMPULAN……………………………………………………………….8
      DAPTAR PUSTAKA………………………………………………………...9



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
ALLAH menciptakan manusia di muka bumi ini dengan tujuan beribadah dan bermuamalah.  Manusia yang satu saling membutuhkan satu sama lain, hidup saling ketergantungan. Begitupun tahapan  yang di alami manusia dari ia di lahirkan ke dunia dan menjadi tanggung jawab orang tuanya. Kemudian setelah ia dewasa dan melangsungkan pernikahan  untuk membentuk keluaraga yang sejahtera dan memilki keturunan. Selanjutnya Menjalanai kehidupan sampai akhirnya bertemu dengan  kematian. Setelah kematiannya akan timbul masalah-masalah seputar harta peninggalan. Dan kerabat-kerabat terdekat yang mempermsalahkan siapa yang dapat mengambil alih harta peninggalannya. Yang biasa di sebut dengan waris.
            Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian mengakibatkan masalah bagaimana penyelesaian hak-hak dan kewajiban . Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda  (Burgelick wetboek) buku kedua tentang kebendaan Bab Dua belas yaitu  Hukum Waris adalah hukum yang mengatur peralihan harta kekayaan yang di tinggalkan seseorang yang meninggal dunia serta akibat-akibatnya bagi ahli waris.
2.      Rumusan Masalah
1. Pengertian Hukum Waris menurut BW
3. Dasar hukum kewarisan dalam BW
2. Unsur-unsur dan syarat-syarat  Pewaris , Mewaris Menurut BW          

3.      Tujuan Masalah
            Adapun maksud dan tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami bagaimana waris yang di maksud dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku sampai saat ini.

4.      Ruang lingkup
           Makalah tentang ketentuan Hukum Waris Menurut Undang-Undang Hukum perdata Belanda  (Burgelick Wetboek) bisa dijadikan pembelajaran dalam pendidikan untuk menambah ilmu pengetahuan kita sebagai mahasiswa/i, karena makalah ini sangat penting dalam mengetahui bagaimana hukum waris berdasarkan kitab undang-undang belanda yang sampai saat ini masih kita jadikan acuan dalam hal waris.
5.      Tekhnik penulisan
            Metode yang digunakan pemakalah dalam penyusunan makalah ini dengan menggunakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan referensi dan buku-buku sebagai landasan teoritis mengenai masalah yang akan diselesaikan.
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengartian hukum waris
Hukum waris Menurut Verklarend Handwoordenboek Der Nederland Se Taal, door M.J Koenen & J. Endepels, apa yang di terima oleh seorang dari yang meninggal.[1]
Menurut Effendi Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan atau harta benda saja yang dapat diwaris[2]
Adapun Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia  kepada satu atau beberapa orang lain. Jadi intinya hukum waris adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan, yang berwujud perpindahan kekayaan si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi ahli waris.[3]
B.     Syarat terjadinya pewarisan
Syarat terjadinya pewarisan (warisan terbuka) dapat dilihat di pasal 830 BW yang menyatakan bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian. Jadi jelaslah bahwa kematian seseorang tersebut merupakan syarat utama dari terjadinya pewarisan, dengan meninggalnya seseorang tersebut maka seluruh harta kekayaannya beralih kepada ahli waris.[4]
KUHPerdata juga mengatur mengenai syarat-syarat pewarisan hukum waris perdata, yang antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Pewaris meninggal dan meninggalkan harta;
2.      Antara pewaris dan ahli waris harus ada hubungan darah. Hal ini untuk maksud mewaris berdasarkan undang-undang;
3.      Ahli waris harus patut mewaris atau cakap mewaris, dan pengecualian terdapat pada ketentuan Pasal 838 KUHPerdata. Pasal tersebut menyatakan, bahwa orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris, dan dengan demikian tidak mungkin mendapat warisan, ialah:[5]
a.       Orang yang dihukum karena membunuh/mencoba membunuh si pewaris.
b.      Orang yang dihukum karena memitnah si pewaris pada waktu masih hidup.
c.       Orang yang dengan kekerasan atau secara paksa mencegah si pewaris untuk membuat wasiat atau memaksa untuk mencabut wasiatnya.
d.      Orang yang telah menggelapkan dan merusak atau memalsukan surat wasiat.
Dan di pasal 839 KUH perdata menyatakan orang yang tidak patut menerima warisan, harus mengembalikan semua hasil dan pendapatan yang telah di nikmati.[6]
Dalam KUHPerdata juga diatur mengenai hal dimana terjadi peristiwa yang menyebabkan pewaris dan ahli waris meninggal secara bersama-sama, hal ini disebutkan dalam Pasal 831 KUHPerdata yang menyatakan, bahwa apabila beberapa orang, yang antara seorang dengan yang lainnya ada hubungan pewarisan, meninggal karena suatu kecelakaan yang sama, atau meninggal pada hari yang sama, tanpa diketahui siapa yang meninggal lebih dahulu, maka mereka dianggap meninggal pada saat yang sama, dan tidak terjadi peralihan warisan dan yang seorang kepada yang lainnya. Oleh karenanya, dalam hal ini dapat ditegaskan kembali bahwa jika tidak diketahui siapa yang meninggal terlebih dahulu, maka tidak saling mawaris, akan tetapi harus dibuktikan terlebih dahulu karena bilamana terdapat selisih 1 (satu) detik  maka  dianggap tidak meninggal bersamaan.[7]
C.    Dasar hukum kewarisan dalam BW
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), terutama pasal 528, tentang hak mewaris didentikkan dengan hak kebendaan, sedangkan ketentuan dari pasal 584 KUH. Perdata, menyangkut hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaaan, oleh karena itu ditempatkanlah dalam buku ke II  KUH Perdata (tentang benda). Penempatan  Hukum Kewarisan dalam buku ke II tersebut menimbulkan pro dan kontra dikalangan ahli waris, karena pendapat mereka hukum kewarisan tidak hanya tampak sebagai hukum saja, tetapi tersangkut beberapa aspek hukum lainnya, misalnya hukum Perorangan dan Kekeluargaan.
Menurut  Staatsblad 1925 Nomor 415 jo. 447 yang telah diubah ditambah dan sebagainya terakhir dengan S. 1929 No. 221 pasal 131 jo. Pasal 163, hukum kewarisan yang diataur dalam KUH Perdata tersebut diberlakukan untuk orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang-orang tersebut.
            Dengan Staatsblad 1917 No. 129 jo. Staatsblad 1924 No 557 hukum kewarisan dalam KUH Perdata diberlakukan bagi Orang-orang timur Asing Tionghoa. Dan berdasarkan Staatsblad 1917 No. 12 tentang penundukan diri terhadap hukum Eropa, maka bagi orang-orang Indonesia dimungkinkan pula menggunakan hukum kewarisan yang tertuang dalam KUH Perdata. Dengan demikian maka KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) diberlakukan kepada:
1.      Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa misalnya Inggris, Jerman, Perancis, Amerika dan termasuk orang-orang Jepang;
2.      Orang-orang Timur Asing Tionghoa;
3.      Orang-orang Timur Asing lainnya, orang-orang pribumi menundukkan diri.[8]
Menurut KUH perdata, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
1.      Ahli waris menurut ketentuan undang-undang, dan
2.      Karena di tunjuk dalam surat wasiat (testamen)
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut undang-undang atau “ab intestato”, sedangkan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”
Dalam hukum waris berlaku  juga suatu asas bahwa apabila seorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya.
Pasal 834: apabila seorang tampil sebagai ahli waris mereka berhak menuntut supaya segala apa yang termasuk harta peninggalan si peninggal diserahkan kepadanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Hak penuntut ini menyerupai hak penuntun seseorang pemilik suatu benda, dan menurut maksudnya penuntutan itu harus ditujukan kepada orang yang menguasai suatu benda warisan dengan maksud memilikinya.[9]
Pasal 833: pada asasnya setiap orang, meskipun seorang bayi yang baru lahir adalah cakap untuk tampil sebagai ahli waris mewarisi harta peninggalan orang tua, atau suami/istri dan saudara dekatnya atau dari si peninggal, seperti aturan dalam pasal 832. Sekalipun ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang si yang meninggal.[10]
D.    Unsur-unsur kewarisan dalam BW
Pada dasarnya pewarisan merupakan proses berpindahnya harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Akan tetapi proses perpindahan tersebut tidak dapat terlaksana apabila unsur-unsurnya tidak lengkap. Menurut hukum perdata barat terdapat tiga unsur warisan, yakni:
1.      Orang yang meninggalkan harta warisan, disebut: Erflater.
2.      Harta warisan:  Erfenis.
3.      Ahli waris: Erfgenaam.
Apabila seorang meninggal dunia, maka segala hak dan kewajibannya turun/pindah/beralih kepada ahli warisnya. Adapun yang akan beralih kepada ahli warisnya tadi bukan hanya meliputi hak dan kewajiban saja akan tetapi juga meliputi barang-barang yang berwujud. Sedangkan yang berhak menerima peralihan tersebut adalah ahli warisnya, seperti suami, isteri, anak ataupun orang lain yang ditunjuk. 
Menurut KUH perdata tidak semua ahli waris secara otomatis mewarisi segala sesuatu yang dimiliki/ditinggalkan oleh si pewaris. Sebab menurut system hukum perdata barat yang menjadi objek pewarisan itu bukan hanya kekayaan dari si pewaris, akan tetapi juga segala hutang dari si pewaris tersebut. Didalam pasal 1100 dan 1101 KUH Perdata ditegaskan,
Pasal 1100 KUH Perdata: “Para waris yang telah menerima suatu warisan diwajibkan dalam hal pembayaran utang, hibah, wasiat dan lain-lain beban, memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan”.
Pasal 1101 KUH Perdata: “Kewajiban melakukan pembayaran tersebut dipikul secara perseorangan, dan masing-masing menurut jumlah besar bagiannya, satu dan lain dengan tidak mengurangi hak-hak para perpiutang atas seluruh harta peninggalan selama harta itu belum terbagi, dan tidak mengurangi pula hak-hak para berpiutang hipotik”.[11]
            Di dalam buku karangan Anisitus amanat tentang unsur-unsur kewarisan BW juga menjelaskan:
a.             Pewaris (orang yang meninggal)
            Siapa yang layak di sebut pewaris ? banyak kalangan memberi jwaban atas pertanyaan ini dengan menunjuk bunyi pasal 830BW, yaitu setiap orang yang telah meninggal dunia. Kelemahan jawaban ini adalah kalau yang meninggal dunia ini tidak meninggalkan sedikitpun harta benda. Maka unsur-unsur yang mutlak harus di penuhi untuk layak di sebut sebagai pewaris adalah orag yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan.
b.      Ahli waris (kerabat yang di tinggalkan)
            Pertanyaan serupa di atas dapat di ajukan sebagai masalah ahli waris. Siapa yang layak di sebut sebagai ahli waris ? dalam garis besarnya ada dua kelompok orang yang layak untuk di sebut sebagai ahli waris. Kelompok pertama adalah orang atau orang-orang  yang oleh hukum atau (maksudnya KUH perdata/BW). Telah di tentukan sebagai ahli waris dan kelompok kedua adalah orang atau orang-orang yang menjadi ahli waris karena pewaris di kala hidupnya melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perbuatan hukum pengakuan anak. Perbuatan hukum pengangkatan anak atau adopsi dan perbuatan hukum lain yang di sebut testamen atau surat wasiat. [12]
c.       Harta Warisan (harta yang di tinggalkan)
            Tidak otomatis harta yang di tinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia dalah harta warisan.untuk memastikan apakah harta yang di tinggalkan oleh seseorang  yang telah meninggal dunia termasuk harta warisan atau bukan , perlu di ketahui lebih dahulu status perkawinannya dan hal-hal lain yang membebani harta yang di tinggalkan oleh orang yang telah meninggal dunia tersebut. [13]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan











Saran








DAFTAR PUSTAKA
Amanat, Anisitus. 2003. membagi warisan berdasarkan pasal-pasal hukum perdata BW.   Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada.
Kartasapoetra, G. 1994. Pembahasan hukum benda, hipotek dan warisan. Jakarta: Bumi   Askara
Martosedono, Amir. 1993. Hukum waris. Semarang: Dhara Prize.
Perangin, Effendi. 1999. Hukum Waris. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Ramulyo, Mohd Idris. 1996. Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata             Barat (Burgerlijk Wetboek). Jakarta: Sinar Grafika.
Ramulyo, M. Idris. 2000. perbandingan pelaksanaan  hukum kewarisan islam dengan       kewarisan menurut Hukium Perdata (BW). Jakarta: Sinar Grafika.
Satrio, J. 1992. Hukum Waris. Bandung: Penerbit  Alumni.
Sudarsono. 1994. Hukum Waris dan Sistem Bilateral. Jakarta: Rineka Cipta.
Utantoro, Agus. 1988. Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (BW). Surabaya: Usaha Nasoinal.
http://www.tanyahukum.com/keluarga-dan-waris/119/waris-perdata/




[1] Amir Martosedono. Hukum waris, (Semarang: Dhara Prize, cet ke 4, 1993), hal. 9.
[2] Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), hal. 3.
[3] J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Penerbit  Alumni, 1992), hal. 8.                                                                               
[4] Agus Utantoro, Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (BW), (Surabaya: Usaha Nasoinal, 1988), hal. 14.
[6] G. Kartasapoetra, Pembahasan hukum benda, hipotek dan warisan, (Jakarta: Bumi Askara, 1994), hal. 84-86
[8] Mohd Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek),  Jakarta: Sinar Grafika, 1996),  hal. 30.
[9] M. Idris Ramulyo, perbandingan pelaksanaan  hukum kewarisan islam dengan kewarisan menurut Hukium Perdata (BW), hal. 73.
[10] M. Idris Ramulyo, perbandingan pelaksanaan  hukum kewarisan islam dengan kewarisan menurut Hukium Perdata (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 75.
[11] Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 16.
[12] Anisitus amanat, membagi warisan berdasarkan pasal-pasal hukum perdata BW,( Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 2003), hal. 6.
[13] Anisitus amanat, membagi warisan berdasarkan pasal-pasal hukum perdata BW, hal. 10.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Randa Agustina Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea