Oleh : Randa Agustina
NIM: 1101110015
“tugas karya ilmiah akhir
smester HADIS AHKAM A”
Kawin Mut’ah
BAB I
Pendahuluan
Di
susunya karya tulis ini berdasarkan maraknya persoalan-persoalan yang terjadi
di masyarakat mengenai “NIKAH MUT’AH”
penulis bertujuan menyampaikan beberapa pemahaman tentang Nikah Mut’ah ,
baik dari segi arti dan penjelasannya. Beberapa pendapat para ulama , dan
beberapa dalil-dalil yang menjelaskan Nikah Mut’ah , baik bersifat mendukung ataupun
bersifat menentang , yang di kutip dari beberapa kitab-kitab hadis shahih.
Banyak
yang beranggapan bahwa nikah mut’ah masih di perbolehkan pada masa Rasulullah ,
sahabat dan khalifah hingga saat ini. Bahkwan untuk para pengikut Mazhab Syi’ah
Nikah Mut’ah atau Nikah Kontrak di halalkan. Entah berdasarkan dalil Al-qur’an
ataupun dari hadis-hadis yang dapat memperkuat pendapat ulama-ilama syi’ah
. Berikut penjelasannya yang akan penulis sampaikan di dalam karya
tulis ini.
BAB II
Pembahasan
A.Pengertian Nikah mut’ah
Nikah mut’ah adalah Kawin sementara
atau kawin terputus yaitu orang lelaki mengadakan akad dengan perempuan untuk
untuk sehari , seminggu , atau sebulan. Dan di namakan mut’ah karena orang
lelaki memanfaatkan dan menikmati perkawinan serta bersenang-senang hingga
tempo yang telah di tentukan waktunya. Imam-imam mazhab tentang keharamannya. [1]
(يا
ايُّهاَ انِّاَ سُ إنّي ڬُنْتُ اَذِ نْتُ لَڬُمْ فِي اِلا سْتِمْتَاعِ اَلاً وَ
اِنّ الله قَدْ حَرّ مَهَا اِلىَ يَوْمِ القِيَا مَةِ)
“Hai
sekalian manusia, pernah kuizinkan kalian melakukan kawin mut’ah . ketahuilah ,
sesungguhnya allah telah mengharamkan hingga akhir kiamat ”.( H.R Ibnu
Majah)[2]
Penulis: Mut’ah artinya bersenang-senang,
adapun nikah mut’ah yaitu suatu pernikahan yang bertujuan hanya untuk
bersenang-senang dengan di batasi waktunya. Pengertian dari pernikahan sendiri
adalah.suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan dalam suatu ikrar yang menghalalkan hubungan mereka. Yang mana
bertujuan untuk membentuk keluarga sakinah mawaddah warrahmah. Kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha Esa[3].
Serta yang menjadi tujuan awal adalah memiliki keturunan yang soleh dan
sholehah. Jika di lihat dari pengertian dan tujuan nikah mut’ah , sangat
bertentangan dengan apa yang telah digambarkan dalam Al-qur’an mengenai
pernikahan. Karna nikah mut’ah bertujuan hanya untuk bersenang-senang dan
melampiaskan hawa nafsu sesaat. Dan itu
sangat merugikan bagi pihak perempuan saja, wanita yang di nikah mut’ah
(kontrak) akan di tinggalkan apabila telah habis masa perjanjian atau habis
kontraknya tanpa ada kewajiban untuk memberi nafkah pada masa iddahnya, Sungguh
sangat merugikan bukan?
“Nikah
tidak sah dengan di batasi berlakunya, baik pembatasan waktu yang maklum atau tidak
sebab ada kesahihan larangan dalam nikah Mut’ah (kawin kontrak), yaitu kawin
yang di batasi waktu pertaliannya, sekalipun seribu tahun.[4]
Nikah mut’ah yang di lakukan oleh
bangsa Arab terdahulu apabila seseorang datang ke suatu daerah untuk beberapa waktu dan sama sekali tidak
mempunyai kenalan untuk menjaga rumahnya. Dia akan mengawini wanita yang ada di
daerahnya untuk menenaminya dan menjaga rumahnya selama dia berada di daerah
tersebut. Sehingga wanita tersebut dan akan menjadi istrinya serta menjaga
rumah suaminya. [5]
Penulis
: Adapun nikah mut’ah yang di lakukan
pada masa Nabi dan khalifah . pada saat penaklukan kota mekkah (Perang
Khaibar). Di takutkan apabila susah bagi laki-laki menahan syahwatnya ketika
jauh dari istri-istrinya dalam waktu yang cukup lama. Untuk menghindari akan timbulnya
zinah dari ketidak sanggupan mereka menahan hawa nafsunya. Maka rasulullah
memperbolehkan kawin mut’ah tersebut dalam hal-hal yang di anggap darurat saja.
Berangsur-angsur larangan nikah mut’ah tersebut di larang ketika bayak yang
melakukan nikah mut’ah secara berlebih-lebihan. Sampai pada kepemimpinan
khalifah Umar, bahwa kawin mut’ah ini sudah benar-benar di haramkan sampai hari
kiamat.
عَنْ
قَيْسِ قَا لَ سَمِعْتُ عَبْدَ ا للهِ يَقُوْ لُ كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ صل ا
لله عليه و سلم لَيْسَ لَنَا نِسَاءُ فَقُلْنَا ألَا نَسْتَخْصِي فَنَهَا نَا
عَنْ زَلِكَ ذَ ثُمَّ رَخِّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِثَّوْبِ إِلىَ
أَ جَلِ ثُمَّ قَرَأَ عَبْدُ اللهِ (ياَ أَيُّها الذِ يْنَ اَمَنُوا لاَ
تُحَرِّ مُوا طَيِّبَاتِ مَا أَ حَلَّ ا للهُ لَكُمْ وَ لَا تَتَدُوإِنَّ ا للهَ
لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِ ينَ)
“Di riwayatkan dari Qais ia mengatakan
“Aku pernah mendengar Abdullah bin Mas’ud , ia menuturkan, “kami pernah ikut
berperang bersama Rasulullah tanpa membaawa isteri kami bertanya kepada beliau,
“Boleh kami berbuat semaunya untuk melampiaskan syahwat kami ? Terbyata
beliaumelarang kami dari ysang demikian itu. Kemudian belaiu member dispensasi
kepada kami untuk menikahai perempuan
dengan mahar pakaian, dalam jangka waktu tertentu. Kemudian Abdullah Ma’sud
membaca firman Allah. “YAA AYYUHAL LADZIINA AAMANUU LAA TUHARRIMUU THAYYIBAATI
MAA AHALLALLAAHU LAKUM WA LAA TA’TADUU INNALLAAHA YUHIBBUL MU’TADIN (wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang
telah Allah halalkan bagi kalian, dan janganlah kalian melampaui batas.)(Muslim
IV:130)[6]
Para
ulama Mazhab sepakat
bahwa nikah mut’ah itu haram hukumnya[7].
Alasan mereka yaitu : Pertama : kawin seperti ini tidak
sesuai dengan perkawinan dengan yang di maksudnkan oleh al-Qur’an. Kedua
; Banyak hadits-hadits yang dengan tegas menyebutkan haramnya. Ketiga
: ketika sahabat yaitu Umar menjadi khalifah dan ia berpidato di atas
mimbar dan mengharamkannya dan para sahabat pun menyetujuinya. Keempat
: Al-khatthabi berkata : haramnya kawin mut’ah itu sudah ijma’, kecuali
oleh beberapa golongan syi’ah. Kelima : kawin mut’ah sekedar
bertujuan pelampiasan syahwat, bukan untuk mendapatkan anak dan memelihara
anak-anak, yang keduanya merupakan maksud pokok dari perkawinan. Baihaqi
meriwayatkan dari ja’far bin Muhammad. Ia di Tanya tentang mut’ah , ja’far
menjawab “Mut’ah sama dengan zinah.“
وَعنه رضى ا الله تعا لى عنه : اَن رسول ا الله
صل الله عليه و سلم نهى عَنْ مُتعَةِ ا لِنِّسَا ءِ وَعَنْ اَكْلِ اْلحُمُرِ
اْلأَ هْلِيَّةِ يَوْمَ خَيْبَرَ. أَخْرَجَحُ السّبْعَهُ إِلَّاأَبَا دَاوُدَ.
“Dari padanya r.a “Bahwasanya
Rasulullah s.a.w melarang kawin untuk sementara waktu, dan makan keledai kampung
pada perang khaibar”. Di riwayatkan oleh imam tujuh kecuali Abu Daud”. [8]
Penulis
: beberapa ulama sependapat dengan di
haramkannya kawin mut’ah tersebut, lain halnya dengan golongan syi’ah Imamiyah
yang mengatakan kawin mut’ah itu boleh. Menurut mereka kawin mut’ah tidak hanya
terjadi pada masa nabi dan Abu Bakar. Tetapi juga pada masa pemerintahan
kholifah Umar sampai saat ini.Para ulama Sunni dan Syi’I sepakat bahwa nikah
mut’ah, berdasarkan keputusan Nabi saw, adalah Halal. Dan bahwasanya kaum
muslimin telah melakukannya pada masa hidup beliau. Akan tetapi mereka berbeda
pendapat tentang ada atau tidaknya naskh (penindak berlakuan hukum). Mazhab
sunni mengatakan bahwa kawin mut’ah telah di hapuskan dan di haramkan sesudah
pernah di halalkan.
اِسْتَمْتَعَ
ا لاَ صْحاَ بُ فِى عَهْدِ رَسُلُ اللهِ وَ اَبى بَكْرِ وَ عُمَرَ
“Para
sahabat di masa Nabi Saw, melakukan mut’ah demikian juga di masa Abu bakar dan
Umar”, (Shaih Riwayat Muslim).[9]
Penulis
: Sementara itu Syi’ah berpendapat bahwa
naskh seperti itu tidak ada . dengan demikian kawin muit’ah dulu di halalkan dan dan tetap di halalkan
hingg akhir kiamat ptongan ayat
al-qur’an yang di jadikan alasan mazhab syi’ah dalam menghalalkan kawin mut’ah .
Q.S An-Nisa : 24
4 $yJsù Läê÷ètGôJtGó™$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù Æèdu‘qã_é& ZpŸÒƒÌsù
24. Maka
isteri-isteri yang telah kamu nikmati (mut’ahi)
di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban. [10]
Dari berbagai penjelesanan perbedaan
pendapat mengenai sah atau tidaknya, haram dan halalnya kawin kontrak tersebut.
Lalau bagaimana jika selama kawin kontrak itu berlangsung dan sampai
menghasilkan seorang anak. Bagaimana perdebatan mengenai status anak hasil
mut’ah ?
Sebagaimana yang telah di jelaskan di
dalam kitab Fiqih Lima Mazhab bawha para ulama Mazhab berpendapat bahwa , Anak
mut’ah adalah anak yang sah berdasrakan syara’dia memiliki semua hak yang
dimiliki anak-anak yang sah pada lainnya. Tanpa ada pengecualian , baik hak-hak
syari’ maupun moral.[11]
BAB
III
Penutup
Kesimpulan
Jadi nikah mut’ah atau kawin kontrak
adalah , sutau pernikahan yang mana tujuannya hanyalah untuk bersenang-senang
dengan di batasi waktunya, bisa sehari, seminggu, atau sebulan. Dan seorang
laki-laki wajib memberikan maharnya kepada wanita yang di nikahinya (mut’ahnya)
sebagaiamana yang biasa di lakukan dalam pernikahan permanen. Jangka waktu
dalam pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan persetujuan yang telah di sebutkan pada saat ijab dan qabulnya. Pernikahan ini
berakhir tanpa ada talaq dari suami. Setelah istri
Setelah penulis menjelaskan beberapa
hal mengenai kawin mut’ah atau nikah
kontrak . dapat kita pahami bahwa pada dasrany nikah mut’ah tersebut memang
sudah ada , bahkan dari pengikut rasul dalam berperangpun ada yang melakukannya
(kawin mut’ah). Karna di khawatirkannya ketidak sanggupupan seorang lelaki
menahan keinginan syahwatnya pada saat mereka berada jauh dari
istri-istrimereka dalam waktu yang lama. Sehingga dalam hal seperti itu atau
dalam hal mudharat kawin mut’ah teresebut di halalkan.
Daftar Pustaka
Al-jamal
Muhammad Ibrahim, fiqih muslimah (Jakarta:.Pustaka Amani, 1994)
Abdul
Aziz Al-Malibari bin Asy-syekh Zainuddin
. Fathul Mu’in. (Surabaya :Al-Hidayah
1993)
Muslehuddin
Muhammad.(M Asy’ari dan Syarifuddin Syukur) Mut’ah.
(Surabaya :PT.Bina Ilmu Cet. 1 ,1987).
Nasrehuddin
Al-bani Syaikh Muhammad. Ringkasan ahahih muslim.(Jakarta : pustaka
As-sunnah.2009)
Sabiq Sayyid (di terjemahkan oleh Moh.
Thalib).Fiqih Sunnah 6. (Bandung :
PT. Al-
ma’ruf.jalan:Tomblong.no.48- 50.1993).
Sukandy sjarief Muh. Tarjamah Bulughul Maram (Bandung
: PT. Al-ma’arif cet ke 4. 1980 )
Mughniyah
Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab.(Jakarta:penerbit
Lentera,2000).
[1]
Ibrahim Muhammad Al-jamal, fiqih muslimah
(Jakarta:.Pustaka Amani, 1994). Hal 263
[2]
Ibrahim Muhammad Al-jamal, fiqih muslimah
(Jakarta:.Pustaka Amani, 1994). hal 264
[3]
UUD NO 1 Tahun 1974
[4]
Asy-syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari. Tarjamah Fathul Mu’in. ( Surabaya :Al-Hidayah 1993). Hal 23
[5]
Muhammad Muslehuddin.(M Asy’ari dan Syarifuddin Syukur) Mut’ah. (Surabaya :PT.Bina Ilmu Cet. 1 ,1987).hal 3
[6]
Syaikh Muhammad nashiruddin Al-bani. Ringkasan ahahih muslim.(Jakarta :
pustaka As-sunnah.2009)hal 517
[7]
Sayyid sabiq (di terjemahkan oleh Moh. Thalib).Fiqih Sunnah 6. (Bandung : PT. Al-ma’ruf.jalan:Tomblong.no.48- 50.1993).hal 58
[8]
Muh. Sjarief Sukandy Tarjamah Bulughul Maram (Bandung : PT. Al-ma’arif
cet ke 4. 1980 )hal 23
[9]
Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima
Mazhab.(Jakarta:penerbit Lentera,2000). Hal 394
[10]
Al-qur’an Digital
[11]
Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima
Mazhab.(Jakarta:penerbit Lentera,2000). Hal 394
HUKUM PERDATA ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Masyarakat Indonesia tergolong heterogen dalam
segala aspeknya. Dalam aspek agama jelaslah bahwa terdapat dua kelompok besar
agama yang diakui di Indonesia yakni, agama samawi dan agama non samawi ;agama Islam,
Hindu, Budha, Kristen Protestan dan Khatolik. Keseluruhan agama tersebut memilki
tata aturan sendiri-sendiri baik secara vertikal maupun horisontal, termasuk
dalam tata cara perkawinan.
Hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap
agama satu sama lain ada perbedaan, akan tetapi tidak saling bertentangan.
Adapun di Indonesia telah ada hukum perkawinan yang secara otentik diatur
didalam UU No. 1 tahun 1974 Lembaran Negara RI. Tahun 1974 nomor 1. Adapun
penjelasan atas Undang-Undang tersebut dimuat di dalam Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3019 yang didalam bagian penjelasan umum diuraikan
beberapa masalah mendasar.
Bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia
adalah mutlak adanya UU Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip
dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan
telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.
Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945, maka UU ini di satu pihak harus dapat mewujudkan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945, sedangkan dilain
pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat
dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya
unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan kepercayaan itu dari
yang bersangkutan.
2.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana ketentuan umum tentang hukum
perkawinan di Indonesia
b.
Apa pengertian, prinsip-prinsip, rukun dan
syarat perkawinan
c.
Bagaimana larangan, pencatatan, dan pencegahan
perkawinan
d.
Bagaimana pembatalan dan perjanjian dalam
perkawinan
3.
Tujuan Masalah
Adapun
maksud dan tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan
memahami ketentuan umum tentang perkawinan di Indonesia sebagaimana dalam
halprinsip-prinsip, rukun, syarat, larangan, pencatatan, pencegahan,
pembatalan, dan perjanjian perkawinan di Indonesia. Semua hal tersebuat disesuaikan dengan perkembangan zaman yang
berdasarkan pada hukum islam dan Undang-undang perkawinan.
4.
Ruang
Lingkup
Makalah
tentang ketentuan hukum perkawinan di Indonesia bisa dijadikan pembelajaran
dalam pendidikan untuk menambah ilmu pengetahuan kita sebagai mahasiswa, karena
makalah ini sangat penting dalam mengetahui bagaimana peraturan perkawinan yang
ada di Indonesia.
5.
Teknik
Penulisan
Metode
yang digunakan pemakalah dalam penyusunan makalah ini dengan menggunakan teknik
pengumpulan data dengan menggunakan referensi dan buku-buku sebagai landasan
teoritis mengenai masalah yang akan diselesaikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ketentuan Umum Tentang Hukum Perkawinan Di Indonesia
Hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap
agama satu sama lain ada perbedaan, akan tetapi tidak saling bertentangan.
Adapun di Indonesia telah ada hukum perkawinan yang secara otentik diatur
didalam UU No. 1 tahun 1974.
Bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia
adalah mutlak adanya UU Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung
prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi
pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.
Sesuai
dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka
Undang-undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan dilain pihak harus dapat
pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-undang
Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan
Hukum Agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan. Dalam Undang-undang ini
ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan
perkembangan dan tuntutan zaman.[1]
Hukum Perkawinan Islam adalah perkawinan yang
didasarkan atas hukum-hukum yang ditetapkan oleh Islam yang terkait dengan
pernikahan (Fiqh Munakahat). Materi Fiqh Munakahat sudah diadopsi ke dalam UU
No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan, walaupun materi Fiqh Munakahat
yang diadopsi itu secara mendetail dimasukan, karena hanya prinsip-prinsip dan
pokok-pokoknya saja, yang secara umum telah mengambarkan materi Fiqh Munakahat.
Perbedaan materi UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan dengan Fiqh
Munakahat adalah sebagai berikut:
Pertama : UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan sepenuhnya sudah mengikuti Fiqh munakahat, bahkan banyak mengutip
lansung dari Al Qur’an dan Hadis. Contohnya: Ketentuan tentang larangan
perkawinan dan ketentuan tentang masa tunggu (masa iddah) bagi istri yang
bercerai dengan suaminya.
Kedua : Ketentuan UU No. 1
tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan sama sekali tidak terdapat dalam Fiqh
Munakahat, tetapi karena bersifat administratif dan bukan substansial dapat
ditambahkan kedalam Fiqh Munakahat. Contohnya: pencatatan perkawinan dan
pencegahan perkawinan.
Ketiga : Ketentuan UU No.
1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan tidak terdapat dalam Fiqh Munakahat,
karena pertimbangan kemashlahatan dapat dikategorikan sebagai Hukum Islam,
karena tujuan Hukum Islam adalah untuk kemashlahatan.
Contohnya: ketentuan batas minimal umur pasangan yang akan menikah dan harta
bersama dalam perkawinan.
Keempat : Ketentuan UU No.
1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan secara lahiriah tidak sejalan dengan
ketentuan Fiqh Munakahat, tetapi dengan menggunakan interpretasi dan
mempertimbangkan kemashlahatan dapat
dikategorikan sebagai Fiqh, karena fikih adalah hasil ijtihad, yang antara lain
ditetapkan berdasarkan mashlahat. Contohnya : keharusan perceraian di
pengadilan dan keharusan izin poligami oleh pengadilan serta perceraian harus
didasarkan kepada alasan-alasan yang sudah ditentukan.
B.
Pengertian,
Prinsip, Rukun dan Syarat Perkawinan
1. Pengartian Hukum Perkawinan.
Dalam bahasa Arab, perkawinan disebut dengan al-Nikah yang bermakna bersetubuh, berkumpul, dan akad.Sedangkan
dalam Istilah para Ulama Fiqh mendefinisikannya dalam berbagai kitab fikih,
dimana redaksinya berbeda-beda, tetapi substansinya sama, yaitu: nikah adalah
akad yang menghalalkan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Abu Zahrah
menambahkan definisi nikah tersebut dengan kata-kata: saling tolong dan
mengakibatkan adanya hak dan kewajiban antara keduanya.[2] Di dalam perspektif Nasional,
perkawinan di definisikan sebagai berikut:
a.
Perspektif Undang-undang No. 1 tahun 1974 didalam
pasal 1 tentang Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.[3]
b.
Perspektif kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2
Bab II kitab I tentang Perkawinan
Perkawinan
menurut hukum islam adalah pernikahan yaitu yang sangat kuat atau mistaqon
gholizon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanaknnya adalah ibadah.
Perkawinan adalah pernikahan yang didalamnya bermakna ikatan yang kuat(dalam
fiqh : mistaqon gholizon). [4]
2. Prinsip-prinsip
Perkawinan
Dalam
pasal 3 KHI menyebutkan : “ perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”. Istilah sakinah, mawaddah,
rahmah lebih umum diartikan dengan kehidupan rumah tangga yang penuh
ketentraman atau rukun, damai, penuh kasih sayang di antara mereka dan dalam
kasih sayang atau keredhaan Tuhan.[5]
Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam
dan Undang-undang Perkawinan
a. Dalam ajaran Islam ada beberapa
prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu :
1)
Harus ada persetujuan secara suka rela dari
pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranyanya adalah diadakan peminangan
terlebuh dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk
melaksanakan perkawinan atau tidak.
2)
Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang
pria, sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita
yang harus diindahkan.
3)
Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun
yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
4)
Perkawinan pada dasarnya adalah untuk
membentuk satu keluarga atau rumah tangga tentram, damai, dan kekal untuk
selam-lamanya.
Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang
dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
b.
Prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan
menurut Undang-undang Perkawinan, disebutkan didalam penjelasan umumnya
sebagai berikut:
1)
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal.
2)
Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu
perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
3)
Undang-undang ini menganut asas monogami,
hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari
yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari
seorang.
4)
Undang-Undang ini mengatur prinsip, bahwa
calon sumai istri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan, agar dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat
keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan
antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Undang-Udang Perkawinan ini menentukan batas
umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria
dan 16 tahun bagi wanita.[6]
5)
Karena
tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan
sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
tejadinya perceraian.
6)
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam
pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam
keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.
Kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam
perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Udang Perkawinan, maka
dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.[7]
3. Rukun dan Syarat
Perkawinan
Pasal 14 KHI menyebutkan rukun
perkawinan, sebagai berikut :
“ untuk melaksanakan perkawinan harus
ada :
a. Calon suami
d. Dua orang saksi
b. Calon istri
e. Ijab dan kabul
c. Wali nikah
Setiap rukun perkawinan diatas, harus
bersandar pada syarat-syarat perkawinan, yaitu:
a. Calon Suami dan Istri (kedua mempelai)
1. perkawinan didasarkan pada kepada persetujuan calon
memepelai yang dapat berupa pernyataan tegas, nyata dengan tulisan, lisan,
isyarat atau diamnya seorang wanita tanpa ada penolakan yang tegas darinya.
2. Berumur 21 tahun, jika belum mencapai 21 tahun
harus memperoleh izin dengan menunjuk pasal 6 ayat 1-5 UU No. 1 tahun 1974
berupa izin orang tua, dispensasi mempelai pria sekurangnya berumur 19 tahun
dan wanita berumur 16 tahun.
3. Kedua calon mempelai satu sama lain tidak terdapat
halangan melakukan perkawinan menjadi suami-istri, (pasal 18 KHI) dan Bab VI
KHI berupa halangan karena muharrimat (pertalian nasab genetic, semenda dan
sepersusuan), masih terikat perkawinan, masih dalam iddah raj’iyah maupun
bain, karena salah satunya tidak beragama islam, perkawinan karena memadu
istrinya dengan saudaranya atau dengan bibinya dan sebaliknya serta terhadap
istri yang telah dili’annya (dalam fiqh, li’an adalah sumpah suami terhadap
istrinya ketika menuduhnya berzina).
b. Wali Nikah
1. Wali nikah diperlukan bagi mempelai wanita sebagai
salah satu rukun perkawinan. Tanpa wali nikah tidak dapat dilangsungkan.
2. Keadaan wali nikah dalam pasal 20
1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang
laki-laki yang memenuhi syarat hukum
islam yakni muslim, akil dan baligh.
2) Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim.[8]
c. Saksi Nikah
Pasal
24
1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksana
akad nikah
2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang
saksi.
Yangdapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah
ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil, baligh, tidak terganggu ingatan
dan tidak tuna rungu atau tuli. saksi harus hadir dan menyaksikan secara
langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu ditempat akad
nikah dilangsungkan.
d. Akad nikah
1. Pelaksanaan akad nikah
Pasal 28 : akad nikah dilaksanakan sendiri
secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat
mewakilkan kepada orang lain.
Wali nikah yang sah dapat mewakilkan pelaksanaan
akad nikah (biasa diwakilkan kepada para Pembantu Pegawai Pencatat Nikah atau
Penghulu), baik ia hadir atau tidak hadir ditempat dimaksud dalam akad nikah.
2. Teknis Pelaksanaan akad nikah dan persyaratannya
Pasal 1 huruf c KHI: akad nikah adalah rangkaian
ijab yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksiakan oleh dua
orang saksi.
Pasal 27 : ijab dan kabul antara wali dan calon
mempelai pria harus jelas, beruntun dan tidak berselang waktu.
Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat
diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi
kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu
adalah untuk mempelai pria. Dalam hal calon mempelai wanita atau wakil
keberatan calon mempelai pria diwakili maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
Ijab dan kabul dalam fiqh islam adalah sighat atau
serangkaian lafadz yang menunjuk teradinya transaksi perkawinan antara
mempelai pria dan mempelai wanita. Akibat dari ijab dan kabul tersebut
terjadilah hubungan keperdataan dan keagamaan, antara mempelai pria dengan wanita dengan segala akibat hukum
didalamnya.[9]
C.
Larangan, Pencatatan dan Pencegahan
Perkawinan
1.
Larangan Perkawinan
Pada
dasarnya setiap laki-laki muslim dapat saja kawin atau nikah dengan wanita
yang disukainya. Tetapi segera harus disebutkan bahwa prinsip itu tidak
belaku mutlak, karena ada batas-batasnya. Batasan itu jelas disebutkan dalam
Al-Quran, terutama dalam surat al-Baqarah dan an-Nisa dan berlaku bagi umat
islam dimana pun mereka berada.[10]Larangan
perkawinan dijelaskan secara rinci dalam KHI
a.
Larangan kawin karena sebab tertentu
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita disebabkan:
1.
Karena pertalian nasab
2.
Karena peratlian kerabat semenda
3.
Karena pertalian sesusuan
b.
Larangan kawin karena keadaan tertentu
Pasal 40 : dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
1)
Karena wanita yang bersangkutan masih terikat
perkawinan dengan pria lain
2)
Seorang wanita yang masih berada dalam masa
iddah dengan pria lain
3)
seorang wanita yang tidak beragama islam
Pasal 41 :
1)
seorang pria dilarang memadu istrinya dengan
seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan
istrinya,
a.
saudara sekandung, seayah atau seibu serta
keturunannya
b.
wanita dengan bibinya atau kemenakannya
2)
larangan tersebut pada ayat 1 tetap berlaku
meskipun istri-istrinya telah ditalak raji’i tetapi masih dalam iddah.
Pasal 42 : seorang pria dilarang mela ngsungkan
perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4
(empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau
masih dalam iddah talak raji’i atau salah seorang diantara mereka masih
terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raji’i.
Pasal 43 :
1)
dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria :
a.
dengan seorang wanita bekas istrinya yang
ditalak tiga kali
b.
dengan seorang wanita bekas istri yang
dili’an
2)
larangan tersebut pada ayat 1 huruf a gugur
kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan
tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44 :seorang wanita
islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama islam.[11]
2.
Pencatatan perkawinan
Pasal 5
1)
Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat islam maka setiap perkawinan harus dicatat.
2)
Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1)
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam UU No. 22
tahun 1966 jo UU No. 32 tahun 1954.
Pasal
6
1)
Untuk memenuhi ketentuan pasal 5, setiap
perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah.
2)
Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dalam
KHI perkawinan tidak hanya dituntut memenuhi syarat-rukun perkawinan tetapi
juga harus memenuhi ketentuan administratif hukum yaitu tercatat dalam
catatan perkawinan yaitu dibuktikan dengan Akta Nikah, untuk ketertiban
perkawinan (pasal 5). Yang paling mendasar dari pencatatan (administratif) di
Kontor Urusan Agama (KUA) didasarkan pada dua persoalan hukum.
1.
Persoalan seleksi calon mempelai
Dengan
pencatatn oleh KUA setempat dapat diketahui boleh atau tidaknya perkawinan
dilaksanakan secara hukum materil islam.
2.
Bukti Hukum (legalits formal)
Pencatatan
perkawinan oleh KUA dibuktikan dengan pembuatan buku Akta Nikah merupakan
bukti tertulis keperdataan bahwa telah terjadi perkawinan yang sah secara
hukum, tidak ada larangan perkawinan antara keduanya dan telah memenuhi
syarat rukun perkawinan. Tanpa adanya buku akta nikah maka perkawinan
dianggap tidak pernah ada. Ia merupakan syarat kelengkapan khusus untuk suatu
gugatan ataupun permohonan perkara yang diajukan ke Pengadilam Agama sebagai
hukum formil yang berlaku. Segala perkara perkawinan bahkan menyangkut akibat
perkawinan atau harta bersama, hibah dan yang terkait dengannya harus
disertakan akta nikah, jika tidak, maka perkara tersebut akan tidak diterima
oleh Pengadilan Agama.[12]
Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus
berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan
yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan di lakukan sebagai berikut : [13]
1.
Pencatatn perkawinan dari mereka yang
melangsungkan perkawinan menurut agama islam di lakukan oleh pegawai
pencatatan sebagaimana di maksud dalam undang-undang No.32 tahun 1954 tentang
pencatatan nikah, talak dan rujuk.
2.
Pencatatan perkawinan dari mereka yang
melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama
islam, di lakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil
sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan.
3.
Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan
yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai
peraturan yang berlaku.
3.
Pencegahan Perkawinan
Pencegahan
perkawinan merupakan upaya hukum untuk melindungi setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan dari berbagai tindak hukum yang menyimpang dari
aturan hukum islam maupun perundang-undangan.
a.
Dasar hukum pencegahan perkawinan
Pasal 60
1)
Pencehagan perkawinan bertujuan untuk
menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum islam dan peraturan
perundang-undangan.
2)
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila
calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum islam dan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 61 : Tidak sekufu tidak dapat dijadikan
alasan untuk mencegah perkawinan kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama
atau ikhtilafu al dien. Sebenarnya dapat pula ditafsirkan bahwa salah
satu pihak adalah pemadat, pemabuk, pezina atau buruk akhlaknya.
Pasal 62 :
1)
Yang dapat mencegah perkawinan ialah keluarga
dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali
pengampu dari salah seorang calon mempelai dari pihak-pihak yang
bersangkutan.
2)
Ayah kandung yang tidak pernah melakukan fungsinya
sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan
yang akan dilakukan oleh wali nikah lain.
Yang dimaksud dengan
keturunan lurus keatas adalah ayah atau kakek seterusnya keatas tanpa
diselingi orang perempuan. Sedangkan keturunan lurus kebawah adalah anak,
anak dari anak (cucu) seterusnya kebawah. Selanjutnya wali pengampu tidak
lain maksudnya adalah orang yang telah memeliharanya sejak ia belum dewasa.
Adapun terhadap penyataan pihak-pihak yang bersangkutan disini adalah para
pejabat atau pencatat nikah yang bertugas mengurusi masalah perkawinan.[14]
b.
Uapaya hukum dan prosedur pencegahan
perkawinan
Pasal
64: pejabat yang ditunjukuntuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah
perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak dipatuhi.
Disini
yang dimaksud dengan mengawasi perkawinan adalah memeriksa dan memproses,
meneliti rukun dan syarat perkawinan. Penelitian terhadap rukun dan syarat
perkawinan termasuk didalam mengenai kemungkinan termasuk dalam larangan
perkawinan sebagaimana diatas telah dijelaskan. Pejabat yang ditunjuk untuk
mengawasi perkawinan tidak lain adalah pegawai pencatat nikah. Pengajuan
pencegahan perkawinan kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana
perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai
Pencatat Nikah.
Pasal
66 :Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.
Pencegahan perkawinan dapat dicabut oleh pihak yang mengajukannya sebelum
putusan ditetapkan oleh Pengadilan Agama. Pencabutan dimaksud adalah dengan
menarik kembali permohonan pencegahan perkawinan oleh pihak yang mengajukan
permohonan atau dengan adanya putusan Pengadilan Agama (penetapannya) setelah
memeriksa berkas perkara.[15]
D.
Pembatalan dan Perjanjian perkawinan
1.
Pembatalan Perkawinan
Pencehagan
dan pembatalan perkawinan dapat dilakukan jika para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam hal pencegahan,
perkawinan belum dilangsungkan dan dalam hal pembatalan perkawinan sudah
dilangsungkan.
Dalam pasal 70 Perkawinan
batal apabila :
1)
Suami melakukan perkawinan sedang dia tidak
berhak untuk melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri,
sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam masa iddah raj’i.
2)
Seseorang
menikahi bekas istrinya yang telah di ahli waris’annya
3)
Seseorang menikahi bekas isrtinya yang pernah
dijatuhi tiga kali talak olehnya kecuali bila bekas istri tersebut pernah
menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria
tersebut dan telah habis massa iddahnya.
4)
Perkawinan dilakukan antara dua orang yang
mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang
mengahalangi perkawinan. Menurut pasal 8 Undang-undang No. 1 tahun 1974 :
a.
Berhubungan darah dalam garis lurus kebawah
atau keatas
b.
Berhubungan darah dalam garis keturunan
menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan
antara seorang dengan saudara neneknya
c.
Berhubungan dengan semenda, yaitu mertua,
anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
d.
Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua
seusuan, anak sesusuan, saudara sesususan dan bibi atau paman sesusuan.
5)
Istri adalah saudara kandung atau sebagai
bibi atau kemenakan dari istri atau isrti-istrimya.
Dalam pasal 71 suatu
perkawinan dapat dibatalkan apabila :
1)
Seorang suami melakukan poligami tanpa izin
Pengadilan Agama
2)
Perempuan yang dikawini ternyata kemudian
diketahui masih menjadi istri pria lain
3)
Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam massa iddah dari suami lain
4)
Perkawinan yang melanggar batas umur
perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 UU No. 1 tahun 1974
5)
Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau
dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak
6)
Perkawinan yang dilaksankan dengan paksaan
Memahami
konteks demikian, apa yang telah disebut KHI pada pasal 70 tersebut yang
dimaksud tidak lain hanya menerangkan ketentuan hukum mengapa sebuah
perkawinan batal demi hukum karena sebab mengenai batalnya perkawinan
sebagaimana yang dirincikan pasal tersebut. Dengan demikian, segala praduga
setiap orang tidaklah menjadikan dengan sendirinya batal perkawinan tersebut
tetapi harus sudah dibuktikan secara yuridis legal melewati lembaga hukum
Peradilan Agama yang memeriksa perkara yang diajukan kepadanya, menyangkut
benar tidaknya permohonan perkawinan tersebut.[16]
Permohonan
pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana
perkawinan dilangsungkan atau ditempat kedua suami istri, suami atau istri.
Pembatalan perkawinan dapat pula diajukan oleh wali nikah. Pengajuan
permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan
gugatan perceraian. Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh
Pengadilan. Berlakunya pembatalan perkawinan dimuat didalam pasal 28 UU
perkawinan yaitu :
1)
Batalnya suatu perkawinan dimulai setalah
keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak
saat berlangsungnya perkawinan.
2)
Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut
b.
Suami atau istri yang bertindak dengan
iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan
didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dulu.
c.
Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk
dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum
keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.[17]
2.
Perjanjian Perkawinan
a.
Perjanjian dan materi hukum
Perjanjian
perkawinan adalah perjanjian yang dilakukan oleh calon mempelai pria dan
wanita. KHI dalam hal ini mengatur secara rinci.
Pasal 45 : kedua
mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:
(1)isi
taklik talak dan
(2) perjanjian lain yang tidak bertentangan
dengan hukum islam.
Pasal 46 :
1)
Isi taklik talak tidak boleh bertentangan
dengan hukum islam,
2)
Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik
talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh.
Supaya tidak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan
Agama.
Dalam KHI pasal 1 huruf (e) dijelaskan
tentang pengertian taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan calon
mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa
perjanjian talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin
terjadi dimasa yang akan datang. Fiqh islam sebagaimana yang dikonformasikan
para ulama sepakat bolehnya melakukan taklik yakni talak dengan sumpah
(lilqosam) dan taklik talak bersyarat.
Dalam Akta Nikah yang dikeluarkan KUA di Indonesia,
sighat taklik talak merupakan janji suami terhadap istrinya bahwa jika ia
sewaktu-waktu melakukan :
1.
Meniggalkan istrinya selama dua tahun
berturut-turut
2.
Tidak memberikan nafkah wajib kepadanya tiga
bulan berturut-berturut
3.
Menyakiti badan atau jasmani istrinya
4.
Membiarkan (tidak memperdulikan) istrinya
selama enam bulan[18]
Kemudian
karena tidak redha, istrinya mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan
diterima pengaduannya dengan membayar uang pengganti (iwadh) sebear Rp. 1000,
maka jatuhlah talak satu kepadanya.
Kenyataan perincian sighat
taklik tersebut telah diisyaratkan dalam pasal 46 (2) bahwa talak akan
sungguh-sungguh jatuh adalah setelah diajukan kepada Pengadilan Agama. Taklik
talak sendiri tidak dengan sendirinya jatuh kecuali jika pihak istri
mengajukan halnya ke Pengadilan Agama.
Apabila
diperhatikan isi sighat taklik tersebut dalam akta nikah maka akan jelas
bahwa tujuan taklik talak tersebut sifatnya untuk membela kepentingan wanita
dalam hal ini ia telah dilindungi secara hukum dimana pihak suami dengan
perjanjian tersebut tidak dapat sewenang-wenang terhadap dirinya.
Dalam
pasal 45 KHI menyatakan bahwa perjanjian perkawinan bukan hanya taklik talak.
Tetapi boleh pula dengan perjanjian perkawinan lainnya mengenai kehidupan
rumah tangga selama tidak beertentangan dengan hukum islam.[19]
b. Aspek
perjanjian perkawinan lainnya
Dalam
pasal 45 ayat (2) yang mengisyaratkan bolehnya melakukan perjanjian
perkawinan lainnya selain taklik talak selama tidak bertentangan dengan hukum
islam, ternyata yang menjadi perhatian KHI dalam penjabaran pasal selanjutnya
(pasal 47-52 KHI) adalah perjanjian mengenai harta bersama. Ada beberapa
rincian yang dapat dipahamkan dari keseluruhan pasal-pasal dimaksud yaitu :
1. Perjanjian
perawinan yang diatur secara khusus adalah mengenai harta bersama dapat
meliputi :
a. Percampuran
harta pribadi dan pemisahan harta pencarian masing-masing
b. Menetapkan
kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi
dan harta bersama atau harta syarikat
c. Percampuran
harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke
dalam perkawinan maupun yang diperoleh selama perkawinan secara masing-masing
atau hanya membatasinya pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan
dilangsungkan.
2. Kedudukan
dan keberdaan hukum dan akibat hukum
a. Perjanjian
perkawinan dapat dilakukan sebelum atau sesudah perkawinan dilangsungkan
b. Perjanjian
tersebut dibuat secara tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah
c. Perjanjian
dimaksud telah mengikat para pihak sekaligus juga dapat dicabut pula
perjanjian tersebut atas kehendak suami istri
d. Bagaimana
isi perjanjian adalah tidak bertentangan dengan hukum islam dan pihak suami
selamanya tetap berkewajiban memenuhi
kewajibannya sebagai suami tanpa terganggu dengan perjanjian dimaksud
e. Pelanggaran
suami terhadap perjanjian dapat dijadikan alasan pembatalan nikah di
Pengadilan Agama.
3. Perjanjian
tersebut dapat pula dilakukan terhadap istri kedua, ketiga atau keempat tentang tempat kediaman, waktu, giliran,
biaya rumah tangga. [20]
|
BAB
III
PENUTUP
|
Kesimpulan
|
Hukum Perkawinan Islam adalah perkawinan yang
didasarkan atas hukum-hukum yang ditetapkan oleh Islam yang terkait dengan
pernikahan (Fiqh Munakahat). Materi Fiqh Munakahat sudah diadopsi ke dalam UU
No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedamgkan Perkawinan menurut hukum islam
adalah pernikahan yaitu yang sangat kuat atau mistaqon gholizon untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanaknnya adalah ibadah. Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Pada dasarnya setiap laki-laki muslim dapat
saja kawin atau nikah dengan wanita yang disukainya. Tetapi segera harus
disebutkan bahwa prinsip itu tidak belaku mutlak, karena ada
batas-batasnya.Dalam KHI perkawinan tidak hanya dituntut memenuhi syarat-rukun
perkawinan tetapi juga harus memenuhi ketentuan administratif hukum yaitu
tercatat dalam catatan perkawinan yaitu dibuktikan dengan Akta Nikah, untuk
ketertiban perkawinan (pasal 5). Yang paling mendasar dari pencatatan
(administratif) di Kontor Urusan Agama (KUA). Pencegahan perkawinan merupakan
upaya hukum untuk melindungi setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
dari berbagai tindak hukum yang menyimpang dari aturan hukum islam maupun
perundang-undangan.Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi
syarat-syarat. Ini berarti bahwa perkawinan itu dilarang bila tidak memenuhi
syarat-syarat, sedang perkawinan semacam itu sudah terlanjur terlaksana, dapat
dibatalkan.Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dilakukan oleh calon mempelai
pria dan wanita.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhaimin, Abd. Abdul Wahab, Adopsi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional, Gaung Persada, 2010
Daud, Mohammad, Hukum Islam dan Peradilan
Agama, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002
Sarmadi, Sukris, Format Hukum Perkawinan
Dalam Hukum Perdata islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2007
Ichsan, Achmad, Hukum Perkawinan, Jakarta : PT Pradnya
Paramita 1987
Sudarsono,
Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta : Rineka Cipta, 2010
[1] Sudarsono, Hukum Perkawinan
Nasional, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010) hal. 6-7
[2]Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi
Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Gaung Persada, 2010) hal. 38-39
[3] Sudarsono. Op. Cit. hal. 9
[4]Sukris Sarmadi, Format Hukum Perkawinan Dalam Hukum Perdata islam di
Indonesia, ( yogyakarta: Pustaka Prisma, 2007) hal. 18
[5]Sukris Sarmadi. Op. Cit. hal. 20
[6]Sudarsono. Loc. it. hal. 7-8
[7] Ibid. Hal 9
[8]Sukris Sarmadi. Op. Cit. hal. 30-35
[9]Sukris Sarmadi. Op. Cit. hal. 37-39
[10] Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2002) hal. 5
[11]Sukris Sarmadi. Op. Cit. hal. 52-55
[12]Sukris Sarmadi. Loc . it. hal. 48-49
[13] Achmad ichsan, Hukum
Perkawinan, (Jakarta : PT Pradnya Paramita 1987 )
hal. 33-34
[14]Sukris Sarmadi. Op. Cit. hal. 78- 81
[15] Ibid. hal. 82-84
[16]Sukris Sarmadi. Op. Cit. hal. 85-87
[17]Sudarsono. Op. Cit. hal. 106-109
[18]Sukris Sarmadi. Op. Cit. hal. 57- 58
[19] Ibid. hal. 59-60
[20]Sukris Sarmadi. Op. Cit. hal. 62-63
TUGAS AKHIR HADIS AHKAM
TUGAS AKHIR HADIS AHKAM
BAB
I