DOSEN
PENGASUH
Drs.
Ruslan , M.ag
|
TUGAS
TERSTRUKTUR
METODE
TAFSIR
|
Sejarah Baca Tulis Al-Qur’an
OLEH
:
RANDA
AGUSTINA
1101110015
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS SYARIAH
AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH
BANJARMASIN
2012
Sejarah Baca Tulis Alquran
Setelah wafat Utsman, Mushhaf Al-Imam tetap merupakan
satu-satunya mushhaf yang dijadikan pegangan umat Islam dalam pembacaan
Alquran, meskipun demikian terdapat juga beberapa perbedaan dalam pembacaan
tersebut, sebab-sebab timbulnya perbedaan tersebut dapat juga disimpulkan dalam
dua hal.
Pertama : Penulisan Alquran itu sendiri
Kedua : Perbedaan lahjah (dialek) orang-orang Arab
Penulisan Alquran itu dapat menimbulkan perbedaan pembacaan,
oleh karena Mushhaf Al-Imam ditulis oleh sahabat-sahabat yang tulisannya belum
dapat dimasukkan kedalam golongan tulisan yang baik, sebagaimana diterangkan
oleh Ibnu Khaldun dalam bukunya “Muqaddimah Ibnu Khaldun” bahwa
“Perhatikanlah akibat-akibat yang terjadi disebabkan oleh tulisan mushhaf yang
ditulis sendiri oleh sahabat-sahabat dengan tangannya”. Tulisan itu tidak
begitu baik, sehingga kadang-kadang terjadilah beberapa kesalahan dalam
penulisan, jika ditinjau dari segi tulisan yang baik dan bagus.
Untuk mengambil berkat, para tabiin dalam menyalin Alquran
mengikuti saja bentuk tulisan Mushhaf Al-Imam. Karena Mushhaf itu ditulis oleh
sahabat Rasulullah sendiri yang menerima Alquran langsung dari Nabi.
Di samping itu penulisan Mushhaf Al Imam adalah tanpa titik
dan baris. Adapun perbedaan lahjah orang-orang Arab telah menimbulkan
macam-macam qiraat
(bacaan), sehingga pada tahun 200 H. Muncullah ahli-ahli
qiraat yang tidak terhitung banyaknya, seperti qiraat Ibnu Mas’ud.
Sebagaimana diterangkan di atas, Alquran mula-mula ditulis
tanpa titik dan baris. Namun demikian hal ini tidak mempengaruhi pembacaa
Alquran , karena para sahabat dan para tabiin adalah orang-orang yang fasih
dalam bahasa Arab. Oleh sebab itu mereka dapat membacanya dengan baik dan
tepat. Akan tetapi setelah ajaran agama Islam tersiar dan banyak bangsa yang
bukan bangsa Arab memeluk agama Islam, sulitlah bagi mereka membaca Alquran
tanpa titik dan baris itu.
Apabila keadaan demikian dibiarkan, dikhawatirkan bahwa hal
ini akan menimbulkan kesalahan-kesalahan dalam pembacaan Alquran.
Maka Abu Aswad Ad-Duwali mengambil inisiatif untuk
memberi tanda-tanda dalam Alquran dengan tinta yang berlainan warnanya dengan
tulisan Alquran. Tanda-tanda itu adalah titik diatas untuk fat-hah,
titik di bawah untuk kasrah, titik di sebelah kiri atas untuk dhammah,
dan dua titik untuk tanwin, hal ini terjadi pada masa Muawiyah.
Kemudian di masa khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705
M), Nashir bin Ashimdan Yahya bin Ya’mar menambahkan tanda-tanda untuk
huruf-huruf yang bertitik dengan tinta yang sama dengan tulisan Alquran. Itu
adalah untuk membedakan antara maksud dari titik Abul Aswad ad Duali dengan
titik yang baru ini. Titik Abul Aswad adalah untuk tanda baca dan titik Nashir
bin Ashim adalah titik huruf. Cara penulisan seperti ini tetap berlaku pada
masa bani Umayyah, dan pada permulaan abbasiyah, bahkan tetap dipakai pula di
Spanyol sampai pertengahan abad ke 4 H. behwa kemudian ternyata cara
pemberian tanda seperti ini menimbulkan kesulitan bagi para pembaca Alquran,
karena terlalu banyak titik, sedang titik itu lama-kelamaan hampir menjadi
serupa warnanya.
Maka Al-Khalil mengambil inisiatif, untuk membuat
tanda-tanda yang baru, yaitu huruf waw kecil (ﻮ)
di atas untuk tanda dhammah, huruf alif kecil (ا)
untuk tanda fatha, huruf yaa kecil (يي)
untuk tanda kasrah, kepala huruf syin ( ﺳ )
untuk tanda syiddah, kepala ha ( ﺣ )
untuk sukun dan kepala ‘ain (ﻋ ) untuk hamzah,
Kemudian tanda-tanda ini dipermudah, dipotong dan ditambah
sehingga menjadi bentuk yang ada sekarang ini.[1]
Adapun Alquran yang telah dibukukan yang sampai pada kita
sekarang ini khususnya yang ada di Indonesia ditulis berdasarkan bahasa
Quraisy.[2]
0 komentar:
Posting Komentar