TUGAS KELOMPOK
|
DOSEN PENGASUH
|
Hukum Kewarisan Di Indonesia
|
Dra. Hj. Wahidah, M.HI
|
SYARAT TERJADINYA PEWARISAN, DASAR HUKUM DAN
UNSUR-UNSUR KEWARISAN DALAM BW
Di susun
oleh
Firhan Iqbal : 1101110032
Muhammad :
1101110042
Randa Agustina : 1101110015
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS
SYA’RIAH
JURUSAN
AKHWAL AL-SYAKHSHIYAH
BANJARMASIN
2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,
karena atas berkat rahmat, taufik, hidayah dan bimbingan-Nya semata sehingga
kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini.
Shlawat dan salam
semoga selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, yang telah
menunjukkan jalan kepada kita jalan keselamatan di dunia dan akhirat.
Tak lupa pula kami
ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing dan pihak perpustakaan yang telah
membantu kami dan memberikan kami kesempatan dan kemudahan untuk menyelesaikan
makalah ini, yang berjudul “Syarat Terjadinya Pewarisan, Dasar Hukum Dan
Unsur-Unsur Kewarisan Dalam BW”
Sehubungan dengan
pembuatan makalah ini kami tak luput dari berbagai kesalahan ataupun kehilafan
baik dari segi penulisan, pembahasan ataupun penyusunan kalimat yang pastinya
tidak sempurna, oleh karena itu kami meminta baik saran ataupun keritik dari
pembaca makalah ini yang tentunya bersifat membangun agar supaya kami menjadi
lebih baik lagi untuk ke depannya .
Semoga Allah SWT melimpahkan
rahmat dan karunianya kepada semuanya yang telah ikut berasumsi dengan makalah
ini semoga makalah ini bermanfaat bagi semuanya yang tentunya hanyalah
mengharapkan rhido dari Allah semata, dan semoga menjadi amal ibadah kita semua.
Amin.
DAPTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………
I.
PENDAHULUAN……………………………………………………………1
II.
PEMBAHASAN……………………………………………………………...3
1.
Pengertian Hukum Waris..........................................................................3
2.
Syarat terjadinya pewarisan......................................................................3
3.
Dasar hukum kewarisan dalam BW.........................................................4
4.
Unsur-unsur kewarisan dalam BW...........................................................6
III.
PENUTUP…………………………………………………………………….8
KESIMPULAN……………………………………………………………….8
DAPTAR PUSTAKA………………………………………………………...9
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
ALLAH menciptakan manusia di muka bumi ini dengan tujuan beribadah
dan bermuamalah. Manusia yang satu
saling membutuhkan satu sama lain, hidup saling ketergantungan. Begitupun
tahapan yang di alami manusia dari ia di
lahirkan ke dunia dan menjadi tanggung jawab orang tuanya. Kemudian setelah ia
dewasa dan melangsungkan pernikahan
untuk membentuk keluaraga yang sejahtera dan memilki keturunan.
Selanjutnya Menjalanai kehidupan sampai akhirnya bertemu dengan kematian. Setelah kematiannya akan timbul
masalah-masalah seputar harta peninggalan. Dan kerabat-kerabat terdekat yang
mempermsalahkan siapa yang dapat mengambil alih harta peninggalannya. Yang
biasa di sebut dengan waris.
Hukum waris
merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan
bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris erat kaitannya dengan
ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa
hukum yang dinamakan kematian mengakibatkan masalah bagaimana penyelesaian
hak-hak dan kewajiban . Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata Belanda (Burgelick
wetboek) buku kedua tentang kebendaan Bab Dua belas yaitu Hukum Waris adalah hukum yang mengatur
peralihan harta kekayaan yang di tinggalkan seseorang yang meninggal dunia
serta akibat-akibatnya bagi ahli waris.
2.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian Hukum Waris menurut BW
3.
Dasar hukum kewarisan dalam BW
2. Unsur-unsur dan syarat-syarat
Pewaris , Mewaris Menurut BW
3.
Tujuan Masalah
Adapun maksud dan tujuan dalam pembuatan
makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami bagaimana waris yang di maksud
dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda dengan ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku sampai saat ini.
4.
Ruang
lingkup
Makalah tentang ketentuan Hukum Waris
Menurut Undang-Undang Hukum perdata Belanda
(Burgelick Wetboek) bisa dijadikan pembelajaran dalam pendidikan untuk
menambah ilmu pengetahuan kita sebagai mahasiswa/i, karena makalah ini sangat
penting dalam mengetahui bagaimana hukum waris berdasarkan kitab undang-undang
belanda yang sampai saat ini masih kita jadikan acuan dalam hal waris.
5.
Tekhnik
penulisan
Metode
yang digunakan pemakalah dalam penyusunan makalah ini dengan menggunakan teknik
pengumpulan data dengan menggunakan referensi dan buku-buku sebagai landasan
teoritis mengenai masalah yang akan diselesaikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengartian hukum waris
Hukum waris Menurut Verklarend Handwoordenboek Der Nederland Se
Taal, door M.J Koenen & J. Endepels, apa yang di terima oleh seorang dari
yang meninggal.[1]
Menurut Effendi Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang
peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta
akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada asasnya hanya hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan atau harta benda saja yang
dapat diwaris[2]
Adapun Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah
peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal
dunia kepada satu atau beberapa orang
lain. Jadi intinya hukum waris adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat
hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan, yang berwujud
perpindahan kekayaan si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi ahli
waris.[3]
B.
Syarat terjadinya pewarisan
Syarat terjadinya pewarisan (warisan terbuka) dapat dilihat di
pasal 830 BW yang menyatakan bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian.
Jadi jelaslah bahwa kematian seseorang tersebut merupakan syarat utama dari
terjadinya pewarisan, dengan meninggalnya seseorang tersebut maka seluruh harta
kekayaannya beralih kepada ahli waris.[4]
KUHPerdata juga mengatur mengenai syarat-syarat pewarisan hukum
waris perdata, yang antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Pewaris meninggal dan meninggalkan harta;
2.
Antara pewaris dan ahli waris harus ada hubungan darah. Hal ini
untuk maksud mewaris berdasarkan undang-undang;
3.
Ahli waris harus patut mewaris atau cakap mewaris, dan pengecualian
terdapat pada ketentuan Pasal 838 KUHPerdata. Pasal tersebut menyatakan, bahwa
orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris, dan dengan demikian
tidak mungkin mendapat warisan, ialah:[5]
a.
Orang yang dihukum karena membunuh/mencoba membunuh si pewaris.
b.
Orang yang dihukum karena memitnah si pewaris pada waktu masih hidup.
c.
Orang yang dengan kekerasan atau secara paksa mencegah si pewaris
untuk membuat wasiat atau memaksa untuk mencabut wasiatnya.
d.
Orang yang telah menggelapkan dan merusak atau memalsukan surat
wasiat.
Dan di pasal 839 KUH perdata menyatakan orang yang tidak patut
menerima warisan, harus mengembalikan semua hasil dan pendapatan yang telah di
nikmati.[6]
Dalam KUHPerdata juga diatur mengenai hal dimana terjadi peristiwa
yang menyebabkan pewaris dan ahli waris meninggal secara bersama-sama, hal ini
disebutkan dalam Pasal 831 KUHPerdata yang menyatakan, bahwa apabila beberapa
orang, yang antara seorang dengan yang lainnya ada hubungan pewarisan,
meninggal karena suatu kecelakaan yang sama, atau meninggal pada hari yang
sama, tanpa diketahui siapa yang meninggal lebih dahulu, maka mereka dianggap
meninggal pada saat yang sama, dan tidak terjadi peralihan warisan dan yang
seorang kepada yang lainnya. Oleh karenanya, dalam hal ini dapat ditegaskan
kembali bahwa jika tidak diketahui siapa yang meninggal terlebih dahulu, maka
tidak saling mawaris, akan tetapi harus dibuktikan terlebih dahulu karena
bilamana terdapat selisih 1 (satu) detik
maka dianggap tidak meninggal
bersamaan.[7]
C.
Dasar hukum kewarisan dalam BW
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), terutama pasal 528, tentang
hak mewaris didentikkan dengan hak kebendaan, sedangkan ketentuan dari pasal
584 KUH. Perdata, menyangkut hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh
hak kebendaaan, oleh karena itu ditempatkanlah dalam buku ke II KUH Perdata (tentang benda). Penempatan Hukum Kewarisan dalam buku ke II tersebut
menimbulkan pro dan kontra dikalangan ahli waris, karena pendapat mereka hukum
kewarisan tidak hanya tampak sebagai hukum saja, tetapi tersangkut beberapa
aspek hukum lainnya, misalnya hukum Perorangan dan Kekeluargaan.
Menurut Staatsblad 1925 Nomor 415 jo. 447 yang telah
diubah ditambah dan sebagainya terakhir dengan S. 1929 No. 221 pasal 131 jo.
Pasal 163, hukum kewarisan yang diataur dalam KUH Perdata tersebut diberlakukan
untuk orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang-orang
tersebut.
Dengan Staatsblad 1917 No. 129 jo.
Staatsblad 1924 No 557 hukum kewarisan dalam KUH Perdata diberlakukan bagi
Orang-orang timur Asing Tionghoa. Dan berdasarkan Staatsblad 1917 No. 12
tentang penundukan diri terhadap hukum Eropa, maka bagi orang-orang Indonesia
dimungkinkan pula menggunakan hukum kewarisan yang tertuang dalam KUH Perdata.
Dengan demikian maka KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) diberlakukan kepada:
1.
Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa
misalnya Inggris, Jerman, Perancis, Amerika dan termasuk orang-orang Jepang;
2.
Orang-orang Timur Asing Tionghoa;
3.
Orang-orang Timur Asing lainnya, orang-orang pribumi menundukkan
diri.[8]
Menurut KUH
perdata, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
1.
Ahli waris menurut ketentuan undang-undang, dan
2.
Karena di tunjuk dalam surat wasiat (testamen)
Cara yang
pertama dinamakan mewarisi menurut undang-undang atau “ab intestato”, sedangkan
cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”
Dalam hukum
waris berlaku juga suatu asas bahwa
apabila seorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan
kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya.
Pasal 834: apabila seorang tampil sebagai ahli waris mereka berhak menuntut
supaya segala apa yang termasuk harta peninggalan si peninggal diserahkan kepadanya
berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Hak penuntut ini menyerupai hak penuntun
seseorang pemilik suatu benda, dan menurut maksudnya penuntutan itu harus
ditujukan kepada orang yang menguasai suatu benda warisan dengan maksud
memilikinya.[9]
Pasal 833: pada asasnya setiap orang, meskipun seorang bayi yang baru lahir
adalah cakap untuk tampil sebagai ahli waris mewarisi harta peninggalan orang
tua, atau suami/istri dan saudara dekatnya atau dari si peninggal, seperti
aturan dalam pasal 832. Sekalipun ahli waris dengan sendirinya karena hukum
memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang si yang
meninggal.[10]
D.
Unsur-unsur kewarisan dalam BW
Pada dasarnya pewarisan merupakan proses berpindahnya harta
peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Akan
tetapi proses perpindahan tersebut tidak dapat terlaksana apabila
unsur-unsurnya tidak lengkap. Menurut hukum perdata barat terdapat tiga unsur
warisan, yakni:
1.
Orang yang meninggalkan harta warisan, disebut: Erflater.
2.
Harta warisan: Erfenis.
3.
Ahli waris: Erfgenaam.
Apabila seorang meninggal dunia, maka segala hak dan kewajibannya
turun/pindah/beralih kepada ahli warisnya. Adapun yang akan beralih kepada ahli
warisnya tadi bukan hanya meliputi hak dan kewajiban saja akan tetapi juga
meliputi barang-barang yang berwujud. Sedangkan yang berhak menerima peralihan
tersebut adalah ahli warisnya, seperti suami, isteri, anak ataupun orang lain
yang ditunjuk.
Menurut KUH perdata tidak semua ahli waris secara otomatis mewarisi
segala sesuatu yang dimiliki/ditinggalkan oleh si pewaris. Sebab menurut system
hukum perdata barat yang menjadi objek pewarisan itu bukan hanya kekayaan dari
si pewaris, akan tetapi juga segala hutang dari si pewaris tersebut. Didalam
pasal 1100 dan 1101 KUH Perdata ditegaskan,
Pasal 1100 KUH Perdata: “Para waris yang telah menerima suatu
warisan diwajibkan dalam hal pembayaran utang, hibah, wasiat dan lain-lain
beban, memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari
warisan”.
Pasal 1101 KUH Perdata: “Kewajiban melakukan pembayaran tersebut
dipikul secara perseorangan, dan masing-masing menurut jumlah besar bagiannya,
satu dan lain dengan tidak mengurangi hak-hak para perpiutang atas seluruh
harta peninggalan selama harta itu belum terbagi, dan tidak mengurangi pula
hak-hak para berpiutang hipotik”.[11]
Di dalam buku karangan Anisitus amanat tentang unsur-unsur
kewarisan BW juga menjelaskan:
a. Pewaris (orang yang meninggal)
Siapa yang layak di sebut pewaris ? banyak
kalangan memberi jwaban atas pertanyaan ini dengan menunjuk bunyi pasal 830BW,
yaitu setiap orang yang telah meninggal dunia. Kelemahan jawaban ini adalah
kalau yang meninggal dunia ini tidak meninggalkan sedikitpun harta benda. Maka
unsur-unsur yang mutlak harus di penuhi untuk layak di sebut sebagai pewaris
adalah orag yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan.
b. Ahli waris (kerabat yang di tinggalkan)
Pertanyaan serupa di atas dapat di ajukan
sebagai masalah ahli waris. Siapa yang layak di sebut sebagai ahli waris ?
dalam garis besarnya ada dua kelompok orang yang layak untuk di sebut sebagai
ahli waris. Kelompok pertama adalah orang atau orang-orang yang oleh hukum atau (maksudnya KUH
perdata/BW). Telah di tentukan sebagai ahli waris dan kelompok kedua adalah
orang atau orang-orang yang menjadi ahli waris karena pewaris di kala hidupnya
melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perbuatan hukum
pengakuan anak. Perbuatan hukum pengangkatan anak atau adopsi dan perbuatan
hukum lain yang di sebut testamen atau surat wasiat. [12]
c.
Harta Warisan (harta yang di tinggalkan)
Tidak otomatis
harta yang di tinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia dalah harta
warisan.untuk memastikan apakah harta yang di tinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia termasuk harta
warisan atau bukan , perlu di ketahui lebih dahulu status perkawinannya dan
hal-hal lain yang membebani harta yang di tinggalkan oleh orang yang telah
meninggal dunia tersebut. [13]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Amanat, Anisitus. 2003. membagi warisan berdasarkan pasal-pasal
hukum perdata BW. Jakarta:
PT.Rajagrafindo Persada.
Kartasapoetra, G. 1994. Pembahasan hukum benda, hipotek dan
warisan. Jakarta: Bumi Askara
Martosedono, Amir. 1993. Hukum waris. Semarang: Dhara Prize.
Perangin, Effendi. 1999. Hukum Waris. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Ramulyo, Mohd Idris. 1996. Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum
Kewarisan Perdata Barat
(Burgerlijk Wetboek). Jakarta: Sinar Grafika.
Ramulyo, M. Idris. 2000. perbandingan pelaksanaan hukum kewarisan islam dengan kewarisan menurut Hukium Perdata (BW).
Jakarta: Sinar Grafika.
Satrio, J. 1992. Hukum Waris. Bandung: Penerbit Alumni.
Sudarsono. 1994. Hukum Waris dan Sistem Bilateral. Jakarta:
Rineka Cipta.
Utantoro, Agus.
1988. Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (BW). Surabaya: Usaha
Nasoinal.
http://www.tanyahukum.com/keluarga-dan-waris/119/waris-perdata/
[1] Amir
Martosedono. Hukum waris, (Semarang: Dhara Prize, cet ke 4, 1993), hal.
9.
[2] Effendi
Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), hal. 3.
[3] J. Satrio, Hukum
Waris, (Bandung: Penerbit Alumni, 1992),
hal. 8.
[4] Agus Utantoro,
Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (BW), (Surabaya: Usaha Nasoinal,
1988), hal. 14.
[6] G.
Kartasapoetra, Pembahasan hukum benda, hipotek dan warisan, (Jakarta:
Bumi Askara, 1994), hal. 84-86
[8] Mohd Idris
Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat
(Burgerlijk Wetboek), Jakarta: Sinar
Grafika, 1996), hal. 30.
[9] M. Idris
Ramulyo, perbandingan pelaksanaan hukum
kewarisan islam dengan kewarisan menurut Hukium Perdata (BW), hal. 73.
[10] M. Idris Ramulyo, perbandingan pelaksanaan hukum kewarisan islam dengan kewarisan
menurut Hukium Perdata (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 75.
[11] Sudarsono, Hukum
Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 16.
[12] Anisitus
amanat, membagi warisan berdasarkan pasal-pasal hukum perdata BW,( Jakarta:
PT.Rajagrafindo Persada, 2003), hal. 6.
[13] Anisitus
amanat, membagi warisan berdasarkan pasal-pasal hukum perdata BW, hal.
10.
0 komentar:
Posting Komentar